Friday 24 May 2013

Komplikasi Kala 3


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Persalinan merupakan proses fisiologis yang akan dialami oleh setiap wanita. Persalinan dapat dibagi dalam 4 tingkat yaitu: kala I dimulai dari kontraksi uterus yang teratur dan berakhir pada pembukaan lengkap serviks, kala II dimulai dari pembukaan lengkap serviks sampai dengan bayi lahir, kala III mulai dari bayi lahir sampai keluarnya plasenta, dan kala IV mulai dari plasenta lahir sampai dua jam post partum.
Persalinan merupakan hal yang fisiologis tetapi keadaan ini dapat berubah menjadi patologis apabila tidak terpantau dengan baik. Jika hal yang patologis tersebut tidak segera ditangani maka dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi yang dapat membahayakan nyawa ibu. Salah satu komplikasi yang terjadi adalah komplikasi kala III yaitu perdarahan pasca persalinan. Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu disamping perdarahan karena hamil ektopik dan abortus. Definisi perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yanag melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umunya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital ( seperti kesadaran menurun, pucat, berkeringat dingin, sesak napas, tekanan darah < 90 mmHg dan nadi > 100x/menit ), maka penanganan harus segera dilakukan.
Berdasarkan saat terjadinya, perdarahan pasca persalinan dapat dibagi menjadi perdarahan pasca persalinan primer, yang terjadi dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan lahir dan retensi plasenta, dalam kasus yang jarang bisa karena inversio uteri. Perdarahan pasca persalinan sekunder yang terjadi setelah 24 jam persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta.
1.2 Rumusan Masalah
1)      Komplikasi apa saja yang terjadi pada persalinan kala III ?
2)      Bagaimana cara menangani komplikasi persalinan kala III ?
1.3 Tujuan Penulisan
1)    Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi apa saja yang terjadi persalinan kala III
2)    Mahasiswa mampu menjelaskan penanganan komplikasi persalianan kala III



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi kala III
Kala III dimulai sejak lahirnya bayi hingga lahirnya plasenta. Tujuan dari penanganan tahap ketiga ialah pelepasan dan ekspulsi segera plasenta. Plasenta melekat pada lapisan desidua lapisan basal tipis endometrium oleh banyak vili fibrosa. Setelah janin dilahirkan dengan adanya kontraksi uterus yang kuat, sisi plasenta akan jauh lebih kecil sehingga tonjolan vili akan pecah dan plasenta akan lepas dari perlekatannya. Dalam keadaan normal, beberapa kontraksi kuat lima sampai tujuh menit kelahiran bayi plasenta akan lepas dari lapisan basal. Plasenta tidak akan mudah lepas dari uterus yang kendur karena ukuran permukaan sisi plasenta tidak akan berkurang.

Pelepasan plasenta diindikasikan dengan tanda-tanda sebagai berikut:

1)      Semburan darah tiba-tiba
2)      Tali pusat memanjang
3)      Perubahan bentuk uterus dari discoid menjadi bentuk globuler, sewaktu plasenta bergerak ke arah segmen bagian bawah.

2.2 Mekanisme pelepasan plasenta

Kala III dimulai dari menebalnya dinding uterus, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis, selanjutnya uterus berkontraksi ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm). Kemudian plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa. Selanjutnya adalah pengeluaran plasenta, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Lepasnya plasenta dari bagian sentral disertai perdarahan retroplasenta, uterus berubah dari bentuk cakram menjadi bulat, plasenta telah sepenuhnya lepas dan memasuki segmen uterus bagian bawah, uterus berbentuk bulat, plasenta memasuki vagina, tali pusat terlihat bertambah panjang, dan perdarahan dapat meningkat, ekspulsi plasenta dan berakhirnya kala III.

2.3 Manajemen aktif kala III

Manajemen aktif kala III dilakukan segera setelah bayi lahir, kemudian pastikan bahwa janin yang dilahirkan adalah tunggal dan tidak ada janin selanjutnya yang harus dilahirkan, setelah dipastikan bahwa janin tunggal, langkah selanjutnya adalah manajemen aktif kala III. Manajemen aktif kala III dilakukan untuk mencegah masalah selama proses kelahiran plasenta dan sesudahnya. Berdasarkan hasil penelitian klinis menunjukkan bahwa manajemen aktif kala III persalinan dapat menurunkan angka kejadian perdarahan postpartum, mengurangi lamanya kala III dan mengurangi penggunaan transfusi darah dan terapi oksitosin. WHO telah merekomendasikan kepada semua dokter dan bidan untuk melaksanakan manajemen aktif kala III, apabila manajemen aktif kala III dapat dilakukan dengan benar dan sistematis diharapkan kala III dan selanjutnya akan dapat dilewati dengan aman.

Manajemen aktif kala III terdiri atas beberapa poin penting yaitu :

1)      Pemberian oksitosin
2)      Penegangan tali pusat terkendali
3)      Masase fundus uteri


Setelah plasenta berhasil dilahirkan selanjutnya menggosok secara sirkuler uterus pada abdomen untuk menjaga agar tetap keras dan berkontraksi dengan baik sehingga dapat mendorong keluar setiap gumpalan darah.
Tali pusat diklem, plasenta dilahirkan melalui peregangan tali pusat terkendali dengan kontra peregangan pada fundus.
  
BAB III

PEMBAHASAN


3.1 Perdarahan pada kala III

Perdarahan pada kala III umum terjadi dikarenakan terpotongnya pembuluh-pembuluh darah dari dinding rahim bekas implantasi plasenta karena sinus-sinus maternalis ditempat insersinya pada dinding uterus terbuka. Biasanya perdarahan itu tidak banyak, sebab kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pembuluh-pembuluh darah yang terbuka, sehingga lumennya tertutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah. Jumlah darah yang umum keluar tidak lebih dari 500cc atau setara dengan 2,5 gelas belimbing. Apabila  setelah lahirnya bayi darah yang keluar melebihi 500cc maka dapat dikategorikan mengalami perdarahan pasca persalinan. Pada pasien yang mengalami perdarahan pada kala III atau mengalami pengeluaran darah sebanyak >500cc, tanda-tanda yang dapat dijumpai secara langsung diantaranya perubahan pada tanda-tanda vital seperti pasien mengeluh lemah, berkeringat dingin, menggigil, sistolik <90 mmHg, nadi >100 x/mnt, kadar Hb <8 g%.
Kadang-kadang perdarahan disebabkan kelainan proses pembekuan darah akibat dari hipofibrinogenemia ( solution plasenta, retensi janin mati dalam uterus, emboli air ketuban ). Apabila sebagian plasenta lepas dan sebagian lagi belum, terjadi perdarahan karena uterus tidak bisa berkontraksi dan beretraksi dengan baik pada batas antara dua bagian itu. Selanjutnya apabila sebagian plasenta sudah lahir, tetapi sebagian kecil masih melekat pada dinding uterus, dapat timbul perdarahan dalam masa nifas. Sebab terpenting pada perdarahan post partum adalah atonia uteri.




1.      Atonia Uteri
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya otot tonus atau kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
Seorang wanita hamil yang sehat bisa kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus dapat menimbulkan syok. Diagnosis perdarahan post partum dipermudah apabila tiap-tiap persalinan setelah anak lahir secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya. Apabila terjadi perdarahan post partum dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk melahirkan plasenta dengan segera. Jika plasenta sudah lahir perlu dibedakan antara perdarahan karena atonia uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpasi sedangkan pada perdarahan karena perlukaan, uterus berkontraksi dengan baik.
Perdarahan karena atonia uteri dapat dicegah dengan :
1)      Melakukan manajemen aktif kala III secara rutin pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insiden perdarahan pasca persalinan akiubat atonia uteri.
2)      Pemberian misoprostol per oral 2-3 tablet ( 400-600 µg ) segera setelah bayi lahir.

a.       Etiologi

1)      Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau janin besar.
2)      Kelelahan karena persalinan lama.
3)      Kehamilan grande-multipara
4)      Ibu dengan keadaan umum yang buruk, anemis atau menderita penyakit menahun.
5)      Mioma uteri yang menggangu kontrkasi rahim.
6)      Infeksi intrauterine (korioamnionitis).
7)      Ada riwayat atonia uteri sebelumnya.

b.      Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
c.       Gejala

1)      Nadi serta pernafasan menjadi lebih cepat.
2)      Tekanan darah menurun.
3)      Syok karena perdarahan.
4)      Perdarahan dari vagina 500cc/lebih.

d.      Penanganan

Terapi terbaik adalah pencegahan.
1)      Apabila pada ibu hamil terjadi anemia maka harus diobati, karena perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia.
2)      Apabila sebelumnya penderita sudah mengalami perdarahan post partum, persalinan harus berlangsung  dirumah sakit. Kadar fibrinogen harus diperiksa pada perdarahan yang banyak.
3)      Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya.
4)      Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan post partum. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuscular setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan     plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskulus.

Kadang-kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir pada presentasi kepala, menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya lahir dengan tekanan pada fundus uteri plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu lahir adalah kemungkinan terjadinya jepitan (traping) terhadap bayi kedua pada persalinan gemeli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir, dua hal yang harus dilakukan, yakni menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Jika plasenta belum lahir, segera dilakukan tindakan untuk mengeluarkannya. Setelah plasenta lahir, perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Tindakan yang biasa dilakukan adalah menyuntikkan uterotonika bagi ibu yang tidak ada riwayat hipertensi. Jika tindakan ini tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu yang singkat, perlu dilakukan kompresi bimanual pada uterus. Tangan kiri penolong dimasukkan kedalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakkan pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut penderita dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan ibu jari didepan serta jari-jari lain dibelakang uterus. Setelah korpus uteri terpegang antara dua tangan, tangan kanan melaksanakan massage pada uterus dan menekan terhadap tangan kiri. Kompresi bimanual melelahkan penolong sehingga jika tidak lekas memberi hasil perlu diganti dengan perasat lain.
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan tergantung pada keadaan kliniknya.
Pada umunya dilakukan secara simultan ( bila pasien syok ) hal-hal sebagai berikut :
1)      Sikap trendelenburg dan memberikan oksigen.
2)      Merangsang kontraksi uterus dengan cara :
-masase fundus uteri dan merangsang puting susu
-pemberian oksitosin
-pemberian derivat prostaglandin F2α ( carboprost tromethamine ) yang kadang meneberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris, dan taki kardi
-pemasangan tampon kondom
-bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi.

e.       Pengobatan

Pengobatan perdarahan post partum pada uteri tergantung pada banyaknya perdarahan yang diderita dan derajat atonia uteri. Dibagi dalam 3 tahap :

Tahap I : Perdarahan yang tidak begitu banyak dapat diatasi dengan cara pemberian uterotonika, misalnya oksitosin 10 iu dan infuse 20 iu dalam 500 ml NaCl atau Ranger Laktat.
Tahap II : Bila perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak selanjutnya berikan infuse dan transfuse darah, dan dapat dilakukan kompresi bimanual.
Tahap III : Bila semua upaya di atas tidak menolong juga maka usaha terakhir adalah menghilngkan sumber perdarahan.

2.      Retensio Plasenta
Disebut sebagai retensio plasenta apabila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus.
Jenis-jenis retensio plasenta :
1)      Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2)      Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
3)      Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai atau memasuki miometrium.
4)      Plasenta prekreta adalah implantasi jonjot korion yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serasa dinding uterus.
5)      Plasenta inkarsereta adalah tertahannya plasenta didalam kavum uteri disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.

a.       Etiologi

Plasenta belum lepas dari dinding uterus, karena tumbuh melekat lebih dalam yang menurut tingkat pelengkatannya dibagi menjadi:
1)      Plasenta adhesiva, yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
2)      Plasenta inkreta, dimana villi koriales tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium.
3)      Plasenta akreta, yang menembus lebih dalam kedalam miometrium tetapi belum menembus serosa.
4)      Plasenta prekreta, yang menembus samapi serosa atau peritoneum dinding rahim.
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak akan terjadi perdarahan, tapi jika lepas sebagian, akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rectum penuh karena itu keduanya harus dikosongkan.

b.      Penanganan

Apabila plasenta belum lahir 30 menit setelah bayi lahir, harus diusahakan untuk mengeluarkannya. Tindakan yang biasa dilakukan adalah manual plasenta. Yang selalu tidak dapat dicegah adalah bahwa plasenta tidak dapat dilahirkan seluruhnya, melainkan sebagian masih ketinggalan yang harus dikeluarkan dengan tangan. Pengeluaran plasenta dengan tangan kini dianggap cara yang paling baik. Dengan tangan kiri menahan fundus uteri supaya uterus jangan naik keatas, tangan kanan dimasukkan dalam kavum uteri. Kemudian jari-jari tangan itu dimasukkan ke pinggir plasenta dan dinding uterus. Biasanya tanpa kesulitan plasenta sedikit demi sedikit dapat dilepaskan dari dinding uterus untuk kemudian dilahirkan.
Banyak kesulitan dialami dalam pelepasan plasenta pada plasenta akreta. Plasenta hanya dapat dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahan mengancam. Apabila berhubungan dengan kesulitan-kesulitan tersebut diatas akhirnya diagnosis plasenta inkreta dibuat, sebaiknya usaha mengeluarkan plasenta secara bimanual di hentikan, lalu dilakukan histerektomi.
Pada plasenta yang sudah lepas, akan tetapi terhalang untuk dilahirkan karena lingkaran konstriksi (inkarsearsio plasenta) tangan kiri penolong dimasukkan kedalam vagina dan kebagian bawah uterus dengan dibantu oleh anestesi umum untuk melonggarkan konstriksi, perlahan-lahan plasenta sedikit demi sedikit ditarik kebawah.

3.      Perlukaan Jalan Lahir
Yaitu robeknya jalan lahir ketika proses persalinan. Pada umunya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap.
a.       Etiologi

1)      Episiotomi
2)      Robekan spontan perineum
3)      Trauma forseps
4)      Trauma vakum ekstraksi
Robekan jalan lahir ada 4 derajat :
1)      Robek hanya bagian atas saja
2)      Robekan sampai endodermis
3)      Robekan sampai otot
4)      Robekan sampai anus
Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaknya dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik biasanya biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina dan serviks dengan menggunakan spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah merah yang segar dan pulsatif sesuai denyut nadi.
b.     Penanganan
Tindakan yang bisa dilakukan adalah dengan cara penjahitan. Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan pada saat melakukan penjahitan.

4.      Inversio Uteri
Inversio uteri adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus ( endometrium ) turn dan keluar melewati ostium uteri eksternum, yang bersifat inkomplit sampai dengan komplit.
a.       Etiologi

1)      Adanya atonia uteri
2)      Serviks yang masih terbuka lebar
3)      Adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah ( misalnya karena plasenta akreta, inkreta, dan perkreta )
4)      Ada tekana pada fundus uteri dari atas
5)      Adanya tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin)


b.      Gejala
Inversio uteri bisa terjadi spontan atau sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan atonia uteri, kenaikan tekanan intraabdominal dengan mendadak karena batuk atau meneran dapat menyebabkan masuknya fundus ke dalam cavum uteri yang merupakan permulaan inversio uteri. Tanda-tanda yang sering muncul adalah :
1)      Syok karena kesakitan
2)      Perdarahan banyak bergumpal
3)      Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat
4)      Bila baru terjadi makaprognosis cukup baik, akan tetapi bila kejadiannya cukup lama maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami isklemia, nekrosis, dan infeksi
c.       Penanganan

1)      Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan atau darah pengganti dan pemberian obat
2)      Memberikan MgSO4  untuk melemaskan uterus yang terbalik sebelum dilakuakn reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi noirmalnya. Hal itu dapat dilakukan pada waktu plasenta sudah lepas atau belum.
3)      Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan dari rahim dan dan sambil memberika uterotonika lewat infus atau i.m. tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal
4)      Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan keperluannya
5)      Intervensi bedah dilakukan bila keran jepitan serviks yang keras menyebabkan manuver di atas tidak dapat dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis.





No comments:

Post a Comment